Kebudayaan dalam Kebiasan Fenomena Pesantren

Akulturasi Budaya
Dalam Membangun Interaksi Dunia Pesantren
Oleh : Chairul Lutfi*

Tak terasa bergulirnya sang waktu, membawa ku terhempas dalam penitian kedewasaan, meskipun berjalan menyusuri liku kemandirian di tengah hiruk-pikuk kearifan. Cahaya kesucian terpancar dari wajah para thalibul ‘ilmy dengan genggaman angan di tangan untuk sebuah tujuan yaitu “mendaki kesejatian”. Berbekal komitmen dan konsistensi dalam pencarian dan pengamalan segala arti kehidupan, mencoba mengaplikasikan budaya keislaman sunny ahlu sunnah wal jama’ah. Dalam bendera Nahdlotul Ulama’ menjunjung tinggi nilai-nilai perrjuangan dan pengabdian.

Sudah hampir enam tahun diriku telah berbaur dan menjalin rutinitas kehidupan di salah satu pesantren di ujung timur pulau jawa tepatnya di kota Situbondo Jawa Timur yang lebih di kenal dengan “Kota Santri”. Memang tidak salah julukan tersebut dengan realita yang ada saat ini, berbagai pesantren berdiri menghiasi dari ujung timur hingga ujung barat –yang letak geografis kota Situbondo terletak memanjang di ujung timur pulau jawa- kapasitasnya baik lokal maupun nasional yang cukup terkenal di seantero negeri ini.
Tak ayal sebutan “kaum bersarung” tersandang padaku, bahkan mungkin sebagian teman dan sahabat ku yang notabene tidak mengenal dunia pesantren mengatakan diriku sebagai kaum intelektual islam. Hampir di setiap pemikiran dan prilaku –semua santri- mencerminkan nilai religius keislaman yang tertanam pada masing-masing individu. Atribut serta corak kehidupan serta budayanya pun berbeda dengan kebanyakan orang yang berdomisili di luar areal pesantren.
Seperti halnya kopyah atau yang lebih di kenal dengan sebutan songkok, mewarnai dari seluruh elemen santri yang seakan merupakan fardhu ‘ain yang tak pernah lepas dari kesehariannya dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Bahkan ada sebagian pesantren yang mewajibkan para santrinya agar senantiasa memakai kopyah sewaktu berada di komplek pesantren ataupun diluar pesantren. Hal ini memang tidak terlepas dari segi pandang kultural pesantren yang mengedepankan nilai-nilai keislaman dengan budi pekerti (akhlak) yang baik bagi seluruh elemennya.

Menjamurnya pemakaian songkok,bahkan sampai digunakan sebagai tradisi nasional. Dengan adanya “songkok nasional” yang kebanyakan digunakan oleh para politikus ataupun pejabat teras di negeri kita. Walaupun semuanya sarat dengan kepentingan-kepentingan di dalamnya. Kita tahu, presiden pertama kita Soekarna Putra, hampir pasti di setiap kepentingan dinas menggunakan songkok nasional yang menjadi ciri khasnya. Dilanjutkan dengan presiden yang kedua sampai saat ini pun pemakaiian songkok tetap menjadi budaya nasional yang implementasi dari budaya pesantren.

Keharmonisan terjalin dengan begitu kuatnya, antara ikatan emosional santri dengan teman, guru, dan Kiai. Rasa kebersamaan terpupuk dan mendarah daging tentang memahami prinsip hidup dan sosial kemasyarakatan antara interaksi yang terjadi. Begitulah sedikit diskripsi tentang identitas dan sekelumit seputar pembahasan yang cukup unik dari para santri sebagai bahan muhasabah, dan intropeksi dalam menemukan hakikat dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya.

Pondok pesantren dengan berbagai pola interaksi yang dibangun, bermacam-macam menimbulkan perbedaan dalam mayoritas pemikiran santri. Metode yang diterapkan meskipun terkesan tertinggal dengan kurikulum pendidikan umum yang ada, tidak menghalangi para santri untuk mewujudkan visi pesantren, yaitu melahirkan kader khaira ummah. Seperti halnya yang sering kita dengar bersama, ortodok, kuno bahkan ketinggalan zaman merupakan kecaman mereka yang sering memarginalkan dunia pesantren. Padahal realita yang ada saat ini, pesantren sudah berbenah diri untuk menghadapi globalisasi dengan mulai hampir merata sistem kurikulum agama yang dikombinasikan dengan pendidikan umum. Budaya salafi memang masih melekat, akan tetap modernisasi sudah mewarnai pesantren dari hal pendidikan sampai dengan cara dan pola hidup para santri.

Akulturasi serta kombinasi yang dilakukan setahap demi setahap ternyata mampu membawa angin penyegaran dan mengikis budaya pesantren tentang fanatik praktis yang sejak dahulu diterapkan. Sebab, selama ini pesantren terlalu kolot dalam mengaktualisasikan hukum-hukum agama dengan realita yang yang ada, seakan pengambilan sumber hukum sudah pasti dan tidak bisa ditolerir lagi. Kepastian hukum mutlak di terapkan dan menjadi panutan yang harus diikuti oleh seluruh komoditasnya, bahkan tidak sungkan mereka mengklaim kafir bagi orang yang tidak sefaham. Doktrin ini digunakan oleh sebagian kaum intelektual bersarung yang lain. Padahal pada realita dan aplikasinya tidak seluruh pesantren menerapkan saling menuduh dan mengklaim kepada pengikut aliran atau ajaran yang berakar dan meluas di negara kita ini.

Memahami bahwa setiap inti ajaran islam yang multi ras dan budaya sangat sulit dalam menentukan jenis aplikasi hukum yang sesuai. Apalagi imbas globalisasi menerjang setiap pemikiran salaf menjadi liberal yang terkadang sangat berbeda dan menyipang jauh dari sumber yang ada. Banyak kita ketemukan berbagai model pemikiran yang terlahir, dari fanatisme, liberalisme, modernis, bahkan ada yang tanpa punya dalil pasti mengemukakan pendapat-pendapat yang sangat merugikan kepada pihak-pihak lainnya.

Anggap saja sebagian oknum dari orang-orang yang memahami al-qur’an dengan setengah-setengah, yang mungkin belum bisa menafsirkan secara tepat bentuk kalimat-kalimat di dalamnya yang multi makna.




*Oleh Santri Salafiyah Tulen, Ditulis 2 tahun yang lalu.

0 Response to "Kebudayaan dalam Kebiasan Fenomena Pesantren"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme